Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Malam yang Mengubah Segalanya: Dalam Cahaya Kebangkitan yang Abadi

Tentang Malam Paskah 

Malam yang Mengubah Segalanya: Dalam Cahaya Kebangkitan yang Abadi – (Markus 16,1-8)

Secara tradisional, malam Paskah adalah malam berjaga-jaga. Sebuah malam yang penuh harap dan pengharapan. Dalam Kitab Keluaran, kita membaca: “Malam itulah malam berjaga-jaga bagi Tuhan, karena pada malam itu Ia membawa orang Israel keluar dari tanah Mesir. Itulah malam bagi Tuhan, malam berjaga-jaga bagi semua orang Israel turun-temurun.”

Malam Paskah adalah malam kemuliaan Tuhan, malam pembebasan, malam di mana terang mengalahkan kegelapan. Dan malam ini terus dikenang oleh umat-Nya, dari generasi ke generasi, sebagai tanda bahwa Tuhan senantiasa setia memimpin kita keluar dari perbudakan menuju kebebasan.

Gereja mengadopsi tradisi suci ini, dan selama berabad-abad, umat beriman telah menghabiskan malam Paskah dengan berjaga, mendengarkan kisah-kisah agung dari Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, hingga kisah Kebangkitan. Kita ditarik bersama dari kegelapan malam menuju terang harapan, sebagaimana tercatat dalam Kitab Kejadian: “Allah berfirman: Jadilah terang!” dan jadilah terang. Malam ini adalah malam penciptaan kembali, malam ketika Tuhan sekali lagi menciptakan terang dalam hati manusia, membawa kita keluar dari kegelapan dosa dan kematian menuju hidup yang baru bersama Kristus yang bangkit.

Itulah cahaya hari ini. Cahaya yang hadir setiap hari, setiap saat. Ia adalah cahaya di mata kita, cahaya dalam hidup kita. Cahaya yang menuntun, menerangi, dan menghidupkan. Kita ditarik bersama oleh cahaya yang dahulu menyinari Musa dalam perjalanannya keluar dari rumah perbudakan di Mesir. Musa, yang jiwanya tersentuh oleh Nama yang Kudus: “Aku akan berada di sana.” Sebuah Nama yang sejak saat itu senantiasa menyertai dan menyinari hidupnya.

Demikian pula DIA, Allah yang setia, yang dahulu berkata, “Aku akan berada di sana,” tetap berjalan mendahului kita hingga hari ini. Ia tidak pernah meninggalkan kita. Ia berjalan di depan kita, seperti awan misterius di siang hari dan tiang api yang menerangi malam. Ia adalah terang yang tak pernah padam, penuntun kita dalam peziarahan iman, dari perbudakan menuju kebebasan, dari gelap menuju terang.

Pada malam suci ini, kita kembali mendengarkan kisah tentang kubur yang kosong. Sebuah kisah yang mengubah segalanya.
Kubur tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang telah tiada. Tempat di mana segala sesuatu datang untuk berhenti dan diam. Itulah sebabnya kita menyebutnya ‘tempat peristirahatan’. Di sana, semua gerakan menjadi sunyi. Kubur berada di luar realitas keseharian kita, mereka yang ada di sana tidak lagi bersama kita di sini, dan kita yang ada di sini, secara naluriah, enggan berada di sana.

Yang dibawa ke sana, tak bisa kembali menjalani hidup seperti sebelumnya. Kubur adalah batas, titik akhir. Tempat di mana kehidupan tak lagi diizinkan untuk berpartisipasi, tempat yang menandai penghapusan, kepergian, dan perpisahan. Ia adalah lambang dari kematian itu sendiri.

Dan justru karena itu, kisah kebangkitan mengguncang kita begitu dalam. Ia membawa kita masuk ke dalam kubur, ke dalam kenyataan kematian, namun tidak untuk tinggal di sana, melainkan untuk menyaksikan sesuatu yang tak pernah dibayangkan: kekosongan yang bukan berarti ketiadaan, tetapi tanda awal dari kehidupan baru.

Pada saat matahari terbit, pagi-pagi sekali, datanglah tiga orang wanita, Maria dari Magdala, Maria ibu Yakobus dan Salome pergi ke kubur. Sesampainya di sana, mereka melihat, bahwa batu di pintu masuk ke kubur telah terguling. Ketika mereka masuk ke dalam kubur, mereka melihat seorang pemuda berpakaian putih duduk di sana. Mereka sangat ketakutan. Tetapi pemuda itu berkata kepada mereka: “Jangan takut.” “Kamu mencari Yesus, orang Nasaret yang disalibkan? Ia telah dibangkitkan dari antara orang mati, Dia tidak ada di sini; lihat, itu adalah tempat di mana Dia dibaringkan”. Kembalilah dan katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: “Ia mendahului kamu ke Galilea, di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang telah dikatakan-Nya kepadamu.”

Dia tidak ada di sini. Artinya: Dia tidak lagi hadir seperti dahulu. Tidak lagi seperti yang mereka kenal, bukan lagi bagi Maria dari Magdala, Maria ibu Yakobus, atau Salome. Tidak seperti yang mereka bayangkan. Ia telah melampaui waktu, menembus batas-batas keberadaan, meninggalkan mereka dalam kekosongan dan kehilangan yang membisu. Yang tersisa hanyalah luka-luka yang belum juga sembuh, yang terus menganga di hati mereka. Sebuah kehilangan yang tak terucap, hanya terasa dalam diam dan air mata.

Ia tidak ada di sini. Ia telah pergi mendahului Anda. Ia berjalan di depan Anda. Dan Anda akan melihat-Nya di wajah-wajah yang mungkin tak Anda duga. Di hadapan yang lain: para pengungsi yang merasa asing di tanah ini, tunawisma yang duduk diam di bawah jembatan di atas Sungai Dommel, para pelancong yang terburu-buru keluar dari stasiun, pasien yang kebingungan di panti jompo. Anda akan melihat-Nya pada pekerja yang terancam kehilangan pekerjaannya, pada mereka yang mencari rasa aman namun tak kunjung menemukannya, pada orang-orang yang hidup tanpa siapa pun di sisi mereka. Di sanalah Ia yang mendahului kita, hadir dalam rupa yang rapuh namun kudus.

Dia telah pergi mendahului kita. Dia tidak akan mati. Kita akan melihat Dia. Para wanita akan mendahului kita ke Galilea ke tempat perjumpaan, ke tengah bangsa-bangsa lain, di sini juga, di tempat kita tinggal dan bekerja. Dalam kehidupan sehari-hari, Ia terus melewati kita: dalam nyala api di malam yang gelap, dalam jejak kaki di atas lautan kehidupan, dalam sosok seorang sahabat, dalam pancaran cahaya yang tak terlihat namun nyata. Dia hadir dalam diam, namun menghidupkan.

Dalam semangat ini, saya mengucapkan dengan sukacita: SELAMAT PASKAH kepada Anda semua. Semoga Sang Cahaya Kebangkitan menyertai langkah kita setiap hari.

Oleh:

Sr. Laetitia Aarnink, SJMJ 
Belanda, 19 April 2025
Pada Perayaan Vigili Paskah.

Leave a comment