Ada satu kisah yang tak pernah usang untuk direnungkan: kisah Petrus. Ia bukan hanya murid Yesus, tapi cerminan nyata dari banyak dari kita yang dipanggil, namun rapuh; yang dikasihi, namun kadang tidak setia; yang diberi tanggung jawab, namun tetap bergumul dengan kelemahan diri.
Petrus menerima rahmat panggilan secara langsung dari Yesus. Sebuah momen ilahi yang mengubah seluruh hidupnya. Namun rahmat tidak menjauhkan Petrus dari pergumulan. Justru rahmat itu membawanya masuk dalam proses pendidikan rohani yang menyakitkan namun menyelamatkan.
Petrus pernah menyangkal Tuhannya. Tidak sekali, tapi tiga kali. Di momen paling kritis, ketika kesetiaan diuji, ia jatuh. Ia merasa tak layak, hancur oleh rasa bersalah. Namun justru di titik terendah itulah Yesus mendidiknya, bukan dengan kemarahan, tapi dengan tatapan kasih dan pertanyaan yang menyentuh hati: “Apakah engkau mengasihi Aku?”
Seperti Petrus, kita pun kadang merasa tidak setia. Kadang gagal menaati kehendak Tuhan. Kadang lebih memilih rasa aman daripada kebenaran. Namun kisah Petrus menunjukkan: Tuhan tidak menyerah. Ia tetap memanggil. Ia tetap mempercayakan.
Petrus juga mengalami perlakuan khusus dari Yesus. Ia menjadi saksi peristiwa-peristiwa penting: pemuliaan di gunung, mukjizat, dan bahkan pengalaman Getsemani di mana Yesus bergumul hebat dalam doa, dan Petrus tertidur. Di Getsemani, kita melihat sisi manusiawi Petrus yang lemah dan tak peka. Namun itu pun menjadi bagian dari proses pemurniannya.
Dalam perjalanan selanjutnya, Petrus diperkaya oleh kehadiran rekan-rekan sepelayanan. Ia tidak berjalan sendiri. Ia belajar dari yang lain, bekerja bersama, dan tumbuh sebagai pemimpin. Dalam tim, ia belajar rendah hati, belajar mendengarkan, dan belajar bahwa kepemimpinan bukan soal kuasa, tapi soal pengorbanan dan pelayanan.
Petrus tidak sekadar bangkit dari kegagalan. Ia berjuang keras untuk setia dalam misi Tuhan. Ia memberitakan Injil, membangun komunitas, dan menguatkan sesama dalam iman. Dan ketika akhirnya waktunya tiba, ia pun menyerahkan hidupnya dengan utuh disalibkan, bahkan dengan kepala di bawah, karena merasa tak layak mati seperti Gurunya.
Kisah Petrus adalah kisah cinta yang terus bertumbuh. Dari panggilan yang penuh semangat, melalui lembah kerapuhan dan air mata, hingga akhirnya berbuah dalam salib kasih yang penuh pengharapan.
Refleksi untuk Hidup Kita: Apakah saya masih mengingat kembali saat pertama kali Tuhan memanggil saya? Bagaimana perasaan saya waktu itu? Di mana letak kerapuhan saya saat ini? Apakah saya mengizinkan Tuhan untuk mendidik dan membentuk saya melalui itu? Apakah saya menyadari bahwa rahmat dan kemudahan yang saya terima adalah panggilan untuk memberi lebih lagi?
Tuhan tidak mencari murid yang sempurna. Ia memilih Petrus, si rapuh yang menyangkal, untuk menjadi batu karang Gereja. Maka jika hari ini kita merasa tidak layak, lemah, atau gagal, ingatlah: rahmat panggilan itu tetap bekerja dalam diri kita. Yang diminta Tuhan bukan kesempurnaan, tapi kesediaan untuk bangkit, setia, dan memberi diri sepenuhnya, sampai akhir.
Oleh:

Sr. Monika Kalangi, SJMJ
Kisah yang tak pernah usang
Yogyakarta, 25 April 2025